Pemuda Gereja Serukan Gerakan Iman Melawan Judi Online

WaraNews.id — Fenomena judi online yang kian meresahkan masyarakat menjadi topik hangat dalam diskusi yang digelar Pemuda Lintas Denominasi Gereja, Sabtu (31/10/2025), di Gedung PGI Wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara (PGIW Sulselra), Jalan Abdurrahman Basalamah No. 59, Kota Makassar.

Kegiatan bertajuk “Berselancar dalam Ombak Judi Online” ini menghadirkan sejumlah tokoh gereja, akademisi, dan pemerhati budaya yang menyerukan pentingnya peran iman dan pendidikan moral dalam menghadapi tantangan era digital.

Sebagai pemrakarsa kegiatan, Bentgurion Litha Brent menegaskan bahwa judi online bukan sekadar hiburan digital, tetapi produk dari perilaku kriminal yang memanfaatkan lemahnya penegakan hukum dan minimnya literasi moral di masyarakat.

“Judi online lahir dari pola pikir yang rusak — dari otak-otak kriminal yang melihat kesenangan orang lain sebagai ladang keuntungan,” tegasnya.

Ia menilai, fenomena ini bukan hanya mengancam ekonomi keluarga, tetapi juga merusak karakter generasi muda yang kehilangan arah spiritual di tengah kemajuan teknologi.

“Yang paling berbahaya bukan hanya kehilangan uang, tetapi kehilangan kendali atas diri sendiri. Banyak anak muda terjerat karena ingin cepat kaya, padahal yang mereka dapat justru kehancuran dan penyesalan. Inilah bahaya kenikmatan semu,” ujar Bentgurion Litha Brent.

Bentgurion juga mengajak pemuda gereja untuk tidak hanya menjadi pengamat, tetapi bagian dari solusi.

“Kita tidak bisa hanya mengutuk kegelapan, tapi harus menyalakan lilin. Jadilah pemuda yang berani bersuara, yang menggunakan media digital untuk menyebarkan terang, bukan jebakan. Kita tidak bisa menyerahkan ruang digital kepada kejahatan,” tambahnya.

Menurutnya, perlawanan terhadap judi online harus dimulai dari kesadaran moral individu, diperkuat oleh peran keluarga, gereja, dan negara. “Iman tanpa tindakan adalah mati. Karena itu, iman kita harus menjadi gerakan nyata yang menyelamatkan sesama,” pungkasnya.

Sementara itu, Pendeta Yohanis Metris, M.Th, selaku Sekretaris Umum PGIW Sulselra, menyampaikan refleksi iman bertema “Berselancar di Tengah Badai: Menghadapi Fenomena Judi Online dalam Perspektif Kristen” yang mengacu pada Markus 4:35–41.
Ia menggambarkan dunia digital sebagai lautan luas yang menyimpan potensi besar sekaligus badai moral yang dapat menenggelamkan banyak orang.

“Kehidupan digital adalah laut luas. Judi online adalah badai yang siap menenggelamkan banyak jiwa, terutama generasi muda yang tergoda kenikmatan semu dan cepat kaya, Gereja tidak boleh mundur dari dunia digital, tapi harus belajar berselancar dengan iman di tengah badai ini.”

Pendeta Metris menegaskan lima prinsip iman dalam menghadapi badai digital:

Percaya pada arah Yesus, yang menuntun kita ke pantai keselamatan, bukan situs gelap dosa.

Kenali badai sebagai ujian, bukan akhir, untuk menguatkan iman.

Bangunkan Yesus dalam doa dan firman setiap kali godaan datang.

Gunakan teknologi untuk kebaikan, seperti pelayanan dan edukasi iman.

Bersama komunitas iman, karena gereja adalah “perahu” tempat setiap orang saling menopang.

Ia menambahkan, fenomena judi online bukan sekadar masalah moral, tetapi panggilan misi digital bagi gereja.

“Gereja harus hadir di laut digital dengan kasih, hikmat, dan ketegasan iman. Edukasi generasi muda, berdialog dengan pemerintah dan aparat hukum, dampingi mereka yang sudah terjerat, dan serukan pertobatan serta pembaruan moral,” tegasnya.

Pandangan senada juga disampaikan Arnoldus Pandin, antropolog sekaligus Ketua Pemerhati Adat dan Budaya Toraja. Ia menilai, praktik judi telah dikenal manusia sejak lama dalam berbagai bentuk, termasuk di Indonesia.

“Kita mengenal sabung ayam, dadu, hingga permainan kartu. Kini, di era digital, bentuknya berubah tapi bahayanya tetap sama  bahkan lebih parah karena mudah diakses dan sulit dikontrol,” ungkapnya.

Menurutnya, judi online menambah problem sosial baru, mengganggu tatanan norma, melemahkan solidaritas, dan bisa mendorong tindakan kriminal.

“Diperlukan kolaborasi antara pemerintah, tokoh agama, dan keluarga untuk mitigasi dan pendampingan. Keluarga harus menjadi ruang kasih yang mencegah anak-anak terjerumus,” tambahnya.

Sebagai suara generasi muda, Adrianus Sandy Kalalimbong, Pemuda yang aktif dalam gerakan digital positif, menegaskan bahwa anak muda tidak boleh hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pengarah perubahan.

“Kami, generasi muda yang lahir di era digital, harus bijak dan bertanggung jawab. Dunia maya itu netral — apakah menjadi berkat atau bencana tergantung siapa yang menggunakannya,” ujarnya.

Sandy sapaan akrabnya menilai, pemuda  punya peran besar untuk memanfaatkan dunia digital sebagai ruang pelayanan, kreativitas, dan solidaritas sosial.

“Kita bisa mengisi media sosial dengan hal-hal yang membangun iman, menebar motivasi, dan menyuarakan kebenaran. Saat orang lain sibuk menyebar link judi, kita harus menyebar nilai-nilai kasih dan harapan,” tuturnya.

Ia berharap pemerintah, gereja, dan komunitas digital bekerja bersama menciptakan ekosistem digital yang sehat dan edukatif.

“Kita ingin anak muda tidak lagi menjadi korban algoritma yang menjerumuskan, tapi menjadi pelaku perubahan yang membawa terang di ruang digital,” pungkasnya dengan semangat.

Diskusi yang dimoderatori Yudhi Lumoindong berlangsung dinamis dan inspiratif. Latar belakang akademis moderator menjadikan suasana diskusi lebih terbuka dan reflektif.

Kegiatan ini menjadi momentum bagi pemuda gereja untuk membangun kesadaran moral, memperkuat iman, dan menegaskan bahwa iman yang hidup harus berani menghadapi badai dunia digital dengan kasih dan kebenaran.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *