WaraNews.id — Polemik dana pemerintah daerah (Pemda) yang menumpuk di bank kembali mencuat. Setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap adanya dana hingga Rp234 triliun yang mengendap di rekening perbankan, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya tak menampik temuan tersebut.
Ditemui usai bertemu Wali Kota Solo, Respati Ardi, Selasa (21/10), Bima mengakui serapan anggaran Pemda hingga September 2025 masih lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.
“Angka menunjukkan bahwa belanja daerah tahun ini masih di bawah tahun lalu, berkurang sekitar 3 sampai 4 persen,” ujarnya.
Temuan Kementerian Keuangan menyebut, hingga akhir triwulan III, total dana APBD yang belum terserap mencapai Rp234 triliun, naik dibanding tahun lalu. Kondisi ini memperlihatkan paradoks fiskal: daerah kaya uang, tapi pembangunan berjalan lambat.
“Ini bukan soal uangnya tidak ada, tapi soal kecepatan eksekusi,” tegas Purbaya dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah di Kemendagri, Jakarta, Senin (20/10).
Wamendagri Bima Arya mencoba menelusuri akar persoalan. Ia meyakini kepala daerah tidak dengan sengaja menahan realisasi anggaran. Namun, ia mengakui ada rangkaian hambatan administratif dan teknis di lapangan yang membuat uang rakyat “menganggur” di kas daerah.
“Saya yakin kepala daerah tidak sengaja. Tapi banyak faktor yang membuat uang itu tidak berputar,” kata Bima.
Menurutnya, penyebab rendahnya serapan anggaran perlu ditelusuri secara spesifik di tiap daerah.
“Satu-satu ditelusuri. Kepala daerah, Bappeda, dan BPKAD harus duduk bersama melihat kendalanya di mana,” ujarnya menegaskan.
Bima menyebut sejumlah faktor yang berulang setiap tahun menjadi biang lemahnya serapan anggaran, mulai dari gagal lelang proyek, perencanaan yang tidak matang, hingga realisasi kegiatan yang tertunda.
“Ada yang tinggal menunggu realisasi, ada juga yang gagal lelang, bahkan gagal dalam perencanaan,” katanya.
Kementerian Dalam Negeri, kata Bima, tidak memasang target muluk bagi Pemda. Pemerintah pusat hanya meminta agar serapan tahun ini tidak lebih rendah dari tahun sebelumnya. Namun, ia memberi sinyal keras: daerah yang tak mencapai target bisa kehilangan kesempatan mendapatkan dana insentif fiskal (DIF) atau bantuan pusat lainnya.
“Kalau serapannya enggak maksimal, bagaimana mungkin akan diberikan dana insentif fiskal? Itu akan jadi catatan,” ujarnya memberi peringatan.
Data yang dipaparkan Kemenkeu memperlihatkan pola berulang: setiap tahun menjelang akhir periode anggaran, pemerintah daerah berlomba “mengejar” serapan di detik-detik terakhir. Praktik ini menimbulkan risiko inefisiensi dan lemahnya kontrol terhadap kualitas proyek.
Pengamat keuangan publik menilai, penumpukan dana di bank mencerminkan masalah tata kelola dan disiplin fiskal daerah. Namun, di sisi lain, fenomena ini juga memperlihatkan ketergantungan daerah terhadap aliran dana pusat tanpa dibarengi kapasitas eksekusi yang memadai.
Kini, sorotan publik tertuju pada langkah-langkah korektif yang akan diambil Kemendagri dan Kemenkeu. Jika tak segera dibenahi, Rp234 triliun uang rakyat berpotensi tetap mengendap di rekening perbankan tanpa memberi dampak nyata bagi masyarakat di daerah.











